Hammer Fall melengking dengan Glory to The Brave
dan aku juga masih saja dengan suara parau
hampir tak terdengar bahkan desirnya
tak ingin siapa pun curi dengar
aku sangat mencintaimu.
Alunkan nada kebencian
pada tiap sudut malam dan hitam
aku membencimu karena mencintaimu
yang kuingin kau tahu hanya, aku mencintaimu
lalu, akan kualunkan kembali nada rindu dalam diamku.
Harum
melangkah cepat menuju pelataran parkir gedung kantornya. Tak
dihiraukannya Oasis yang mengejarnya sambil berlari kecil di
belakangnya. Diambilnya kunci mobil dari dalam tas, lalu menyusul kretek
kesayangannya.
Oasis berhasil mengejar Harum dan buru-buru
mengeluarkan korek api dari dalam kantong celananya. Dinyalakannya korek
api ke arah kretek yang sudah bertengger di bibir Harum. Lelaki itu
tersenyum, lalu sedikit membungkukkan badannya. Mencari simpati.
Entahlah.
Namun, Harum tak membagikan sedikit pun senyumnya
pada lelaki yang masih setia mengikutinya itu. Dibukanya pintu mobil dan
dinyalakannya tanpa menunggu Oasis selesai menutup pintu mobil dengan
rapi. Segera Harum memacu mobilnya menerobos keramaian.
Lama
keduanya berdiam diri, menikmati kretek masing-masing. Angin kencang
berhembus dari kaca jendela yang sedikit terbuka. Harum tak menghiraukan
rambutnya berantakan tertiup angin. Matanya lurus saja memandang ke
jalanan, berusaha tak peduli dengan suasana hatinya yang gundah dan
gelisah. Oasis menatapnya lama sebelum bertanya.
"Kamu kenapa sih, Rum?"
Harum menghembuskan asap kreteknya dengan sekali hentakan. Tak dihiraukannya Oasis yang masih menatapnya menunggu jawaban.
"Tolong, Harum. Sudah dua hari ini sikapmu aneh. Menjauh dariku tanpa alasan yang aku tahu. Kenapa?" Ulang Oasis.
"Kenapa? Nggak apa-apa. Sehat kan, seperti yang kamu lihat."
"Tapi, sikapmu aneh belakangan ini."
"Aneh? Sikap mana yang menurutmu aneh?"
"Sikapmu yang belakangan selalu menghindar dariku, sikapmu yang belakangan ini lebih banyak diam dan cenderung dingin padaku."
"Menurutmu, kenapa aku berubah?"
"Justru aku sedang bertanya padamu, kenapa kamu belakangan ini berubah?"
"Aku mencintaimu."
"Aku
tahu Harum, begitu juga denganku. Tapi, bukankah kita sudah sepakat
untuk melupakan cinta itu dan menggantinya, atau tepatnya, merubah
perasaan itu menjadi persahabatan?"
"Aku tahu, makanya aku juga sekarang menganggapmu sebagai sahabat. Lalu, apa lagi yang aneh?"
"Setelah mendengar kabar dia akan datang berkunjung ke kota ini, kamu berubah sikap. Seperti, ada nada cemburu."
"Wajar, kan?"
"Aku
sudah memiliki kekasih, Harum. Aku tahu ini hanya sebuah perjodohan
sepihak, tapi aku ingin menghormati keputusan bersama ini."
"Aku tak peduli."
"Kamu egois."
"Kenapa?"
"Memaksaku."
"Siapa memaksa, dan memaksakan apa?"
"Kamu, barusan masih bilang mecintaiku."
"Pasang telingamu baik-baik. Aku mencintaimu. Itu saja."
"Nah, kan?"
"Apa?"
"Bukannya itu memaksa, namanya?"
"Aku nggak ngerti, sikapku mana yang memaksa."
"Kamu memaksaku untuk mencintaimu juga."
"Aku mencintaimu, nggak peduli kamu juga masih mencintaiku atau enggak. Juga, tidak memintamu untuk menjadi kekasihku. Paham?"
"Bagaimana mungkin?"
"Dan, bagaimana mungkin, kamu sudah memiliki kekasih, tapi masih bersamaku tiap saat?"
"Aku ingin bersahabat denganmu."
"Silahkan
saja, aku menghormati keinginanmu itu. Sekarang kenapa kamu tidak
mencoba menghargai perasaanku yang sampai saat ini masih mencintaimu?"
jawab Harum sambil tersenyum.
"Jadi, aku boleh memberikan cintaku untuk kekasihku?"
"Aku tidak suka mendengar pertanyaan itu."
"Kenapa?"
"Tidak ada larangan untuk kalian saling mencintai, dan tidak ada larangan juga aku masih mencintaimu, bukan?"
"Mengapa kau katakan ini?"
"Agar kau tahu, aku masih mencintaimu, itu saja."
"Cinta tidak hanya sebatas di sini kan, Rum?"
"Aku sudah bahagia jika kamu mengetahuinya, As," jawab Harum tanpa menengok.
Lalu,
dinyalakannya radio mobil dan Morbid Angel memenuhi ruangan mobil itu
dengan Got Of Emptiness. Angin menatap jalanan penuh tanda tanya. Entah
siapa yang sudi memberi dan menerima begitu saja, tanpa bertanya adakah
luka di sana.
Entah setelah berapa lama berputar, Harum
menghentikan mobilnya di sisi jembatan di tengah kota. Oasis mematikan
radio mobil, lalu menatap Harum entah dengan perasaan apa. Harum pun
mencoba tak peduli.
"Aku akan menemuinya, Harum."
"Silahkan."
"Kami
sudah lama tidak bertemu. Aku tidak ingin dia dan keluarganya, juga
keluargaku, beranggapan bahwa aku main-main dengan hubungan ini."
"Aku mengerti."
"Dia terlalu baik buatku."
"Aku tahu."
"Tapi, aku juga tidak bisa jika diharuskan untuk menjauh darimu."
"Seperti aku juga tidak bisa jika diharuskan menghentikan perasaan cintaku padamu."
"Maafkan aku, Harum."
"Tidak
perlu minta maaf. Aku berubah sikap hanya agar kau segera menjauh
dariku. Tapi, jika kamu tidak bisa melakukannya, ya sudah, aku tidak
akan memaksamu."
"Terima kasih, ya."
"Mari kita sikapi perjodohan dan rasa hormatmu pada keluarga ini dengan dewasa."
Oasis
melangkah perlahan meninggalkan Harum, menengok sebentar membagikan
senyum hangatnya, lalu melambai dan meneruskan langkahnya. Harum
melambaikan tangan sambil tersenyum, lalu segera menghapus air matanya
dan menyalakan kembali kretek yang tinggal satu batang. Diliriknya
pedagang kaki lima yang menghampirinya dan menawarkan dagangannya, lalu
hatinya menimbang.
"Rokok tinggal satu batang, kalau aku tak
beli sekarang, tidak ada temanku merindu dalam perjalanan. Tapi, kalau
kubeli di asongan, apakah dagangan anak ini masih baru?" desis Harum
pada dirinya sendiri.
Lalu, dibelinya satu bungkus kretek dan
senyum pedagang asongan itu adalah satu lagi temannya untuk merindu.
Dilaluinya hari itu dengan mengukur kepanjangan jalan-jalan di kota, tak
ditemukannya juga ukuran yang pasti untuk penantian cinta dan rindunya,
sama tak pastinya dengan jalanan yang tak juga ditemukannya seberapa
panjang.
Lobang besar, lobang kecil, dan lekukan di tiap sisi
menghambatnya untuk memastikan panjang jalan, rindu, dan cintanya.
Kembali dihampirinya pedagang asongan lain untuk membeli sebungkus
terbaru, kali ini dengan membagikan senyum terindahnya. Esok akan
dibukanya hati untuk hidup dengan lembaran baru, agar cinta lain dapat
menyambut rindunya yang pada satu halaman ini telah terkoyak oleh sebuah
perjodohan.
Sebegitu rumitkah cinta dan rindu, hingga kita
tak dapat menemukan batas akhir? Jika dengan tersenyum saja hidup sudah
sangat indah, lalu mengapa masih ada cinta dan rindu yang tak ada alamat
pastinya? Lalu, mengapa juga ada cemburu dan gelisah melihatmu berada
di sana berdua? Di meja itu, ada secangkir kopi nikmat yang tak harus
kau sesap.
By: Mak Rose